TARI JARKENJONG KARSA BUDAYA DESA BEJI



Tarian Jarkenjong (Jaranan Kepang Geronjong) yang dibawakan siswa Kelas Sinau Seni Karsa Budaya memukau ratusan penonton yang memenuhi Melbourne Art CenterAustralia.
Tepuk tangan membahana memenuhi gedung ini, saat tarian Jarkenjong berakhir. Tarian kreasi ini begitu mendunia, tidak hanya dikenal di Indonesia, namun sudah pernah ditampilkan diberbagai negara di dunia.
Selain di Melbourne Australia, tarian Jarkenjong ini juga pernah ditampilkan di Cungju World Martial Art Korea Selatan dan Matafair Malaysia.
Tentu banyak yang bertanya siapa pencipta dan darimana 10 penari wanita Jarkenjong tersebut berasal.
Pasti tidak akan ada yang menyangka, tarian yang memukau ratusan warga Australia, Korsel dan Malaysia ini tercipta dari sebuah rumah penduduk yang berada dipinggiran perkampungan padat penduduk di Desa Beji, Kecamatan Junrejo, Kota Batu.
Ya, di rumah sederhana ini, tarian Jarkenjong dicipta dan menggetarkan dunia. Rumah ini kediaman Agus Mardiyanto, seniman muda yang menciptakan banyak tarian tradisional.
Di rumah ini pula, Agus mencetak ratusan penari-penari handal lewat sebuah kelas seni. Ya, mereka yang semua siswa siswi kelas Sinau Seni Karsa Budaya Desa Beji, Lintas Agama, Seni, Generasi yang dikelola oleh Agus.
Setiap hari, rumah ini selalu di padati anak-anak. Mereka belajar menari, bermain musik hingga berlatih merias.
“Jumlah siswa kita 183 siswa dengan rentang usia anak-anak TK hingga mahasiswa, terbesar siswa kita adalah pelajar SD dan SMP,” ujar Agus Mardiyanto.
Sebagian besar atau 60 persen siswa kelas Sinau ini adalah warga Desa Beji, Kecamatan Junrejo, Kota Batu.
Kelas sinau seni ini gratis alias bebas SPP, kalau pun setiap latihan, para siswa selalu membawa uang Rp 2000, uang itu digunakan untuk tabungan para siswa.
Namun sebaliknya, jika mereka mengisi sebuah pertunjukkan yang bersifat komersil, para siswa ini selalu mendapatkan uang jajan.
“Tujuan saya mendirikan kelas Sinau ini bukan mencari uang tapi lebih ke pengembangan dan Pelestarian kesenian tradisional,” ujar Agus Mardiyanto.
Kelas Seni wajib yang harus diikuti adalah hari Jumat, dimana seluruh siswa harus datang untuk menerima materi.
Kelas tambahan dilaksanakan setiap hari Minggu, dimana mulai pukul 08.00 hingga pukul 21.00 dilaksanakan latihan sesuai dengan golongan usia.
“Siswa yang masih TK hingga SD kelas 3 berlatih pukul 8 hingga 10 pagi, yang mahasiswa malam hari,” ujar putra pasangan Ki Iswandi dan Nyi Sumarni, sesepuh sekaligus guru besar Padepokan Gunung Ukir, Desa Torongrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu ini.
Saat ini, kelas Sinau Seni Karsa Budaya ini menjadi satu-satunya kelas sinau seni dengan jumlah siswa terbanyak di Kota Batu.
Awalnya kelas sinau seni ini berdiri disebuah sekolah dasar pada tanggal 23 Agustus 2008, namun dalam perkembangannya akhirnya berdiri mandiri.
“Berdirinya kelas sinau ini sebenar berawal dari munculnya tantangan di era modernisasi ini, dikala anak-anak mulai teracuni gadget dan Internet hingga ketertarikan terhadap seni tradisional menjadi sangat kurang,” kata seniman pencipta Tarian Barong Sembur Api ini.
Saat itu ia prihatin melihat anak muda teracuni gadget dan menyukai kesenian yang bersifat trans (kalap) sementara kesenian tradisional jarang mereka gali.
Dampaknya, kata Agus, Kota Batu kekurangan pelaku seni dan sarjana seniman. Lebih dari itu, ayah 5 anak ini melihat spiritual berkesenian masih belum tertata.
“Orang luar negeri, jauh-jauh datang ke Indonesia, hanya untuk melihat dan mempelajari seni tradisional Indonesia, sementara kita yang memiliki, antusiasnya sangat kurang,” kata Agus.
Ia melihat seni tradisional memang belum bisa merebut hati kalangan muda, karena pendekatan seni yang kurang kekinian.
Karena itu untuk merangsang anak muda mencintai seni tradisi, ia menciptakan seni tradisi yang dicintai anak muda.
“Contohnya saya ciptakan drumeland, permainan musik yang memadukan antara drum dan gamelan, lagu yang kita mainkan adalah lagu-lagu kekinian dengan tampilan gaya baru, sebagai bentuk kreasi agar anak tertarik,” kata Agus.
Keputusannya merubah pakem ini, tidak mudah. Karena tentu akhirnya Agus diberondong protes oleh para seniman senior. Namun ia tetap menyakini apa yang dilakukan benar, berkiblat pada perkembangan seni di Bali dan Jogja yang bisa merubah pakem.
“Yang tidak bisa dirubah hanya Kitab Suci, kalau kita merubah pakem, anak-anak akan jenuh. Malah sebaliknya dari kesukaan terhadap seni kreasi, kita seret anak muda untuk mempelajari pakem,” ujarnya.
Lihat Videonya : TARIAN JARKENJONG KARSA BUDAYA DESA BEJI
Lewat Kelas Sinau Seni Karsa Budaya ini, ia berharap anak-anak mencintai seni tradisi yang merupakan jati diri bangsa.
“Musuh terbesar kita saat ini adalah teknologi, karena itu setiap akan memulai kelas, seluruh siswa wajib mengumpulkan HP,” ujarnya.
Perjuangan Agus ini, tidak hanya melestarikan seni tradisi, namun juga membuat anak-anak mencintai seni tradisi dan membuat orang luar negeri terpukau dengan seni tradisional Indonesia.
Hampir setiap tahun, kesenian tradisionalnya keluar negeri, tahun 2009 ia bermain di Singapura, tahun 2012 di Thailand, tahun 2013 di Chungju Korea Selatan. Lalu tahun 2014 ke Jerman dan tahun 2015 ia menggelar pertunjukkan di Melbourne Australia.
Serta tahun 2016 ke Belanda dan tahun 2017 di Kuala Lumpur Malaysia. Semua itu dilakukannya untuk memperkenalkan kesenian Indonesia di negeri orang lain
Hingga membuat Tarian Jarkenkong (Jaranan Kepang Geronjong) yang dibawakan siswa Kelas Sinau Seni Karsa Budaya memukau ratusan penonton yang memenuhi Melbourne Art CenterAustralia(times.id)


Komentar

Posting Komentar